SEMESTER 7
30 Agustus 2016
Tulisan ini hanya berisi tentang keluhan, rengekan untuk bisa melewati jalan cerita kehidupan. Yaah, semua makin terasa berat. Diakhir tahun kuliah ini aku masih saja seperti kuliah di tahun pertama (22 sks). Disaat teman-teman jurusan lain hanya mengambil 9 sks (sudah termasuk skripsi), aku masih saja kuliah dengan begitu padatnya jadwal. semua tak seperti yang dibayangkan. semua tak seperti yang direncanakan. Mimpi untuk cepat keluar dari Universitas ini diluar dugaan. Semoga saja Allah memberi keajaiban ^_^ tahun esok di bulan September aku membuka blog dan menulis AKU TELAH WISUDA *_*
SpiRiiT!! fAnTaa!! tak ada akhir perjuangan!
history
Selasa, 30 Agustus 2016
Jumat, 13 Mei 2016
EVALUASI REFORMASI,"LENGSERNYA ORDE BARU"
Sebenarnya apa sih yang telah berubah di masa reformasi ini terhadap bangsa kita??
sudahkah sesuai dengan tujuan dilakukannya reformasi??
Naah untuk mengevaluasi ini, perlu adanya tinjauan historis. Jangan-jangan apa yang terjadi sebelum reformasi dengan setelah adanya masa yang kita sebut dengan reformasi ini sama aja masalahnya ^_^
Lengsernya
Orba
A. Prolog (Perkembangan Kehidupan Politik,Ekonomi,dan Hamkan)
Menjeleng Pemilu 1997
1.
Perkembangan Kehidupan Politik
Kekuasaan
orde baru dijalankan tidak sekonsisten seperti yang selalu dibayangkan. Orde
baru tidak saja mengatur dan mengontrol lembaga-lembaga politik resmi seperti
partai, lembaga-lembaga Negara lainnya namun masuk kedalam unit-unit penting
dan halus seperti agama. Sebagaimana dalam politik partai, party politics, demikian pula dalam politik agama, religion politics, dikerjakan. Namun,
kekuasaan yang dimainkan terpecah-pecah.
Pola pertama adalah modal. Modal bermain di dalam agama, control terhadap
lembaga haji adalah salah satu bentuk control modal orde baru di dalam agama.
Melalui keputusan-keputusan yang di berikan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan control terhadap tubuh di jalankan pada anak-anak sekolah dengan
mendisiplinkan sekolah-sekolah ketika di tetapkan peraturan dengan seluruh
detil tentang pakaian seragam pada tahun 1982 dengan tujuan langsung melatih disiplin
tubuh, disiplin jiwa, dan disiplin kewargaan dengan pikiran bahwa latihan
disiplin menurut pakaian yang dikenakan akan menghasilkan manusia sadar hukum,
sadar peraturan menuju suatu Negara yang terttib. Peningkatan disiplin siswa
tidak berbeda jauh dari tindakan normalisasi kampus dijalankan pada saat yang
hampir sama di kampus-kampus perguruan tinggi.[1]
Gerakan
melawan melumpuhkan salah satu titik utama orde baru yang paling utama yang
berhubungan langsung dengan industry garmen dan tekstil yang juga disebut
sebagai footloose industries, seperti
industry sepatu. Oligopoly industry
tekstil mendapatkan ancaman sangat serius dari gerak perlawanan siswa-siswi.
Dalam kasus kaum pergerakan
mahasiswa dan kaum cendekiawan-aktivis Indonesia semuanya di balik. Mereka
“menolak” agama yang semata-mata mementingkan “jiwa”. Mereka seolah-olah mempersetankan “jiwa” dan “menghormati
tubuh”. “jiwa” dianggap musuh tubuh dan lebih menjadi penjara”tubuh”. Jutaan
tubuh yang dibunuh di timor-timor, puluhan ribu lainnya yang dibunuh ditanah
papua dan aceh , di tanjung periok, lampung, yang disembelih dimarkas partai
demokrasi Indonesia di jalan diponegoro dalam peristiwa 27 juli 1996 oleh
aparat Negara orde baru dalam suatu pertunjukan terang-terangan dalam peliputan
republic Indonesia, pembunuhan yang berlangsung di Maluku menunjukan hal yang
sama islam dan Kristen bisa dibunuh begitu saja, tidak perlu ada pertanggung
jawaban.
Perubahan dalam lembaga-lembaga
birokrasi agama sangat menentukan bagi perlawanan terhadap orde baru. orang
yang tak berdaya yang disiksa dalam kegelapan oleh alat Negara menjadi suatu
acara terbuka. Keterbukaan
tidak lain berarti menjadi perlawanan dan pembongkaran tentang penyiksaan
justru karena berlangsung di depan umum di saksikan lembaga Komisi Hak Azasi
Manusia, yang didirikan oleh Orde Baru. Kumpulan ledakan energi yang mencoba
menobrak batukarang Orde Baru karena semuanya menjadi puncak banjir darah
energy orde baru, political hemorrhage ,
yang tak terkendalikan, termasuk ABRI ORBA, pada bulan-bulan berikutnya menuju
jatuhnya symbol utama neo-fasisme militer, Jenderal Besar Soeharto, pada
tanggal 23 Mei 1998.[2]
Hari kebanagkitan nasional 20 mei
1998 menyaksikan gelora gerakan hati nurani para muda seluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta yang di iringi oleh seluruh penduduk RT/RW tua muda kaya miskin
professor dokter, bang becak, pegawai, pengamen, rohaniawan, rohaniawati,
santri, ibu-ibu, anak, dst., luar biasa. Sekitar 600 ribu mahasiswa dari 11 basis demo tambah sekitar 400 ribu orang
rakyat biasa berdemo tertib berdisiplin di jalan di kaki lima di alun-alun
tanpa kekerasan sedikitpun yang di jalan. Semua pasukan bersenjata dikonsinyir
di dalam tangsi mereka. Justru karena tiada polisi tiada militer satu orang pun atau satu panser itulah demo
besar-besaran itu dapat berjalan aman.Cukup dengan jaminan mahaguru
Universitas-Universitas serta sri sultan, pemimpin spiritual jawa, padahal
gerakan massa satu juta lebih meneriakkan yel-yel amat seram dan mengerikan
“Gantung Soeharto Di
tiang Monas”. Hati nurani muda dan para senior serta pinisepuh luluh jumbuh
tertib berdisiplin, berbudaya luhur, namun tegar tegas menyatakan : Soeharto
turun! Esok harinya Sdr. H. Mohammad Soeharto turun.
Akhirnya pohon raksasa itu tumbang,
21 mei 1998 Pohon Beringin itu tumbang. Demikianlah aneh sebetulnya jika kita
menghendaki siding istimewa MPR untuk menurunkan soeharto. Soeharto sudah lama
turun, persisnya sejak pemilu 1997 yang kebak kepalsuan, tipuan dan terror itu
dimulai. Karena demikianlah pemilu yang seperti itu langsung ipso facto (harfiah: justru karena
terjadi) tidak sah. Maka buahnya, MPR/DPR-RI dengan sendirinya tidak sah juga.
Konsekuensinya, segala keputusan serta pemberian mandatnya pun tidak sah. H.
Moh. Soeharto de facto bukan
presiden, walaupun seolah-olah de jure
seolah-olah presiden.[3]
2.
Ekonomi
Mulai dari bertahun-tahun
penggusuran-penggusuran penduduk kecil demi proyek-proyek raya yang kini
membangkrutkan Negara karena utang-utang mereka, pembredeilan media massa
jujur, pengahakiman anak-anak PRD, SMID, kasus sri bintang, pembakaran kantor
pusat PDI Megawati
27 juli. Menghilangnya orang-orang yang tidak di sukai, operasi-operasi petrus,
pembersihan Tanjung Periok, lampung, aceh, irian jaya, dan terutama
timor-timur.
Anggota-anggota MPR/DPR dan
tokoh-tokoh ORBA panic ketakutan bila membayangkan rumah mewah Bung Harmoko
dibakar oleh rakyat. Inilah akibat sistem Orde Baru yang sebetulnya sama sekali
tidak baru bila kita menyimak sejarah dunia maupun di tanah air. Pada bulan
Juli 1997, Pemerintah Indonesia dikejutkan dengan jatuhnya nilai mata uang
rupiah terhadap dolar sebesar Rp 2.400,- semakin hari nilai mata uang rupiah
semakin merosot sampai pernah menembus Rp 12.000 per dolar Amerika Serikat.
Angka inflasi pada akhir tahun 1997 mencapai 11% pertahun dan terus meningkat
menjadi 77,6% pertahun pada tahun 1998 dan terus membuat turunnya nilai mata
uang rupiah terhadap dolar. Berkeyakinan bahwa krisis yang melanda Asia tidak
akan menimpa Indonesia.
Pada bulan Oktober 1997, Soeharto meminta bantuan kepada IMF di
samping Soeharto juga meminta Widjojo Nitisastro untuk mengambil
langkah-langkah pemulihan ekonomi.[4]
Syarat-syarat yang diberikan oleh IMF ialah agar pemerintah mencabut semua
subsidi kebutuhan barang-barang pokok sebagai imbalan terhadap bantuan yang diberikan.
Ketika nilai tukar rupiah 10.000 terhadap dolar Amerika Serikat, IMF memaksa
Soeharto untuk membuat kesepakatan lagi. Kesepakatan tersebut ditanda tangani
pada tanggal 15 Januari yang mensyaratkan pencabutan subsidi listrik dan BBM.[5]
Dampak dari krisis ekonomi dan pencabutan berbagai subsidi oleh pemerintah atas
inisiatif IMF berakibat banyak perusahaan dan industri jatuh pailit. Pemutusan
hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana sehingga meningkatkannya jumlah
penganguran terbuka dari 4,68 juta orang pada tahun 1997 menjadi 5,46 juta
orang pada tahun 1998, demikian juga jumlah setengah pengangguran dari 28,2
juta orang pada tahun 1997 menjadi 32,1 juta orang pada tahun 1998.[6]
Kejatuhan nilai mata uang rupiah
ini membawa pada kepanikan masyarakat. Mulai tanggal 9 Januari 1999 masyarakat
secara panik memborong sembako dipasar-pasar swalayan dan pasar-pasar
tradisional. Aksi pembelian sembako secara besar-besaran terjadi dihampir
seluruh kota di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung dan Medan. Pemborongan sembako
secara besar-besaran ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk
memperoleh keuntungan. Bakorstanasda Jaya mengaku telah menemukan timbunan
beras hingga 250 ribu ton, 31 ribu ton kedelai dan 11 ribu ton gula.[7]
Disamping krisis yang membawa
dampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan membumbungnya harga bahkan
yang lebih parah lagi ialah terjadinya krisis pangan. Penduduk dibeberapa desa
di kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah mulai mengalami rawan pangan dan tidak
mampu memperoleh beras. Masyarakat di daerah ini hanya makan tiwul sebagai
makanan utama. Di Papua (Jayawijaya, Maurauke dan Puncak Wijaya) sekitar 90.000
orang kelaparan dan 500 orang tewas akibat kelaparan. Di Nusa Tenggara Timur penduduk
mulai beralih makan rumput babi dan batang pisang karena kesulian memperoleh
makanan pokok berupa jagung sedangkan di Sulawesi Selatan, 2000 penduduk
terancam kelaparan dan 12 orang tewas karena kelaparan. Di pulau Atauro Timor
Timur penduduk tidak memperoleh makanan utama dan mulai menyantap buah-buahan
hutan dan buah siwalan.[8]
Tahun 1997 dan 1998 memang
benar-benar tahun yang sangat berat dihadapi Indonesia. Krisis ekonomi ternyata
membawa pada krisis politik. Guru besar ilmu politik Universitas Wisconsin
Amerika Serikat, Donald K. Emmerson menilai bahwa krisis ekonomi ditahun 1997
ini disertai dengan ketidak pastian politik, khususnya suksesi. Karena hal
terakhir inilah kepercayaan pada rupiah dan bursa saham belum tentu akan tumbuh
kembali selama stabilitas dan kesinambungan politik orde baru masih terus
dipertanyakan. Krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia bersumber dari
masalah politik yaitu otoriternya sistem pemerintahan Orde Baru. Umumnya,
menurut Donald, demokrasi mau tak mau
harus dijadikan prasyarat bagi proses pemulihan ekonomi.[9]
Disamping munculnya krisis ekonomi, ditambah lagi dengan keraguan atas
kompetensi birokratis pemerintahan yang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dan hilangnya jiwa demokrasi dan
kebebasan dalam menyampaikan aspirasi terhadap pemerintahan.
3.
Perkembangan
Hankam
Nepotisme
Soeharto dan favoritismenya dalam penunjukan perwira militer telah menimbulkan
perpecahan dalam diri militer dan memicu kemarahan banyak perwira ABRI, yang
mulai merasa sudah tiba saatnya bagi Soeharto untk tidak berkuasa lagi. Kritik
publik terhadap ABRI semakin gencar termasuk dari perwira purnawirawan. Militer
menganggap kritik semacam itu sebagai tanda adanya kekuatan subversif yang
sedang berjalan sehingga ABRI meningkatkan pengintaiannya terhadap aktivis, LSM
maupun mahasiswa. ICMI tetap dekat dengan Habibie (para pengkritik rezim yang
berada dalam organisasi itu berharap Habibie akan memimpin reformasi dan
modernisasi). Tapi dalam tubuh ABRI ada ketidaksukaan terhadap pengaruh ICMI
dan kebencian terhadap Habibie, imperium industrinya, dan ambisinya.[10]
Pada tanggal 18 April 1998, ABRI
menyelenggarakan dialog nasional di Kemayoran dengan tema “Melalui Dialog, Kita
Bangun Visi, Persepsi, dan Berbagai Pemikiran terhadap Masalah Nasional Terutama Krisis Moneter dan Gejolak Ekonomi”.
Dialog ini menujukkan kepedulian dalam usaha meningkatkan kualitas dan
identitas komunikasi politik seluruh masyarakat. Namun kegiatan ini tidak
disambut baik oleh mahasiswa karena sejak awal menginginkan untuk melakukan
dialog langsung dengan Presiden Soeharto.
B. Epilog
Momentum
krisis ekonomi menimbulkan gejolak sosial yang tidak dapat dibendung oleh
penguasa. Gerakan-gerakan prodemokrasi yang dipelopori mahasiswa sejak awal
tahun 1990-an seperti mendapatkan momentum kebangkitannya. Tuntutan akan
penurunan harga dan pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) kemudian
meluas hampir ke seluruh kota di Indonesia. Kualitas tuntutannya pun meningkat
menjadi perubahan struktur kekuasaan dari Orde Baru ke kekuasaan yang baru,
bersih dari KKN dan diharapkan mampu mengatasi krisis ekonomi. Inilah akhirnya
yang kemudian dikenal sebagai tuntutan Reformasi.
Para pemuda
seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta yang diikuti oleh seluruh golongan
masyarakat menggelarkan aksi demo besar-besaran. Mereka menuntut untuk
menurunkan soeharto dari jabatannya sebagai seorang presiden yang sangat kejam.
Mereka menuntut cara pemerintahan yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme,
yang kasar dan sangat kejam tanpa perasaan terhadap rakyat dan kaum yang lemah.
Pemerintahan hanya menguntungkan beberapa keluarga dan kongsi kongkalikong,
tapi membiarkan rakyat menganggur dan kesulitan mencari nafkah. Rakyat DIY yang
didampingi oleh orang-orang terpelajar.[11]
Perkembangan
situasi di tanah air yang semakin kacau dan tidak menentu menyebabkan Presiden
Soeharto menyingkatkan waktu kunjungannya ke Kairo pada tanggal 16 Mei 1998.
Beliau berusaha meredam situasi yang kacau tersebut dengan menurunkan harga
BBM, melakukan reformasi di segala bidang dan mereshuffe Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya. Namun usaha
tersebut tidak mampu meredam situasi yang kacau tersebut.[12]
Semangat
keterbukaan terhadap pembaruan juga telah
terjadi di ranah legislative melalui perwira-perwira yang bertugas dalam Fraksi
ABRI. Hal ini tercermin dari sikap fraksi ABRI terhadap perubahan, seperti
munculnya pemikiran yang berkembang dalam masyarakat saat itu, yaitu sikap
kritis terhadap otoritarianisme. Suara tersebut juga berkembang di kalangan
anggota DPR yang mulai mensosialisasikan gagasan keterbukaan yang telah dimulai
sejak tahun 1980-an. Tokoh-tokoh pendorong keterbukaan itu justru datang dari
fraksi ABRI, yang dikenal sebagai fraksi konservatif penopang utama pemerintaha Presiden Soeharto.
ABRI tertantang untuk lebih berani menyarakan reformasi seiring dengan wacana
yang berkembang di masyarakat menjelang sidang umum MPR pada maret 1998[13]
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan runtuhnya orde baru diantaranya adalah: [14]
a. Krisis
ekonomi : krisis ekonomi yang melanda Asia yang dimulai di Thailand menghantam
indonesia akibat krisis ini organisasi perbankan Indonesia menjadi berantakan
yang sampai sekarang belum dapat dikonsilidasi kembali.
b. Krisis
politik : kekuasaan politik yang berdimensi rasial sesungguhnya bukuanlah hal yang baru didalam sejarah
politik ditanah
air ternya ORBA masih melakukan
kesalahn-kesalahan yang sama seperti masa lalu.
c. Faktor
sosial: permasalahan seperti meledaknya angka pengagguran yang diperkirakan mencapai 1 juta orang
tua sekitar 16,5% dari angkatan kerja pada pertengahan 1998, kemudian
menurunnya murid di sekolah dan peningkatan angka kemiskinan dan munculnya
beberapa kelompok rawan pangan.
Maka
bisa disederhanakan berakhirnya orde baru ini dalam berupa skema, berikut ini:
Ada beberapa
tragedy yang menjadi peristiwa-peristiwa penting dalam proses lengsernya Orde
Baru, diantaranya yaitu:
- Tragedi Trisakti
Kejatuhan
perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan
Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia
supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu
walaupun ditentang oleh mahsiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan
Soeharto sebagai Presiden. Tentusaja hal ini membuat mahsiswa terpanggil untuk menyelamatkan
bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembalin Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada
jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.
Demonstrasi
digulirkan sejak Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahsiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat
diselenggarakannya SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semkin menjadi-jadi
dibanyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus
hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei
1998 didepan kampus IKIP Rawamangun Jakarta Karena mahasiswa dihadang Brimob
dan di Bogor karena mahasiswa non IPB ditolak masuk kedalam kampus IPB sehingga
bentrok dengan aparat . saat itu demonstrasi gabungan mahsiswa dari berbagai
dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta merencanakan untuk seara serentak
melakukan demonstrasi turun kejalan dibeberapa lokasi sekitar jabodetabek.
Namun yang berhasil mencapai kejalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga
terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahsiswa luka dan masuk rumah
sakit.
Di
Universitas Trisakti terjadi peristiwa penembakan terhadap empat orang mahsiswa
oleh aparat keamanan. Keempat orang mahasiswa
Trisakti tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hendiawan Sie, Heri Hartanto, dan
Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahsiswa Trisakti lainnya baru
memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan. Dalam keadaan yang
mulai terkendali setelah
mencekam selama beberapa hari sejak tertembaknya mahasiswa Trisakti dan
terjadinya kerusuhan besar di Indonesia, tanggal 18 Mei 1998 hari senin siang,
ribuan mahasiswa berkumpul didepan didepan gedung DPR/MPR dan dihadang oleh tentara yang bersenjata
lengkap, bukan lagi aparat kepolisian. Tuntutan mereka yang utama adalah
mengusutan penembakan mahasiswa Trisakti, penolakan terhadap penunjukan
Soeharto sebagai presiden kembali, pembubaran DPR/MPR, pembentukan pemerintahan
baru, dan pemulihan ekonomi secepatnya.[15]
- Tragedi Yogyakarta
Kerusuhan
terjadi di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 1998, hamper bersamaan dengan
kerusuhan yang terjadi di Medan. Kejadian ini merupakan kerusuhan pertama di
Yogyakarta yang terkait dengan tuntutan reformasi dari masyarakat dan mahasiswa
yang bentrok dengan aparat keamanan. Perusakan dan pembakaran terjadi pada hari
selasa hingga malam hari.
Kerusuhan
kedua di Yogyakarta terjadi pada hari jumat tanggal 8 Mei 1998. Kerusuhan kali
ini lebih besar dari kerusuhan yang terjadi hari selasa 5 Mei 1998 dan
disebabkan dengan adanya korban meninggal dunia. Peristiwa ini berawal dari
unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan dibeberapa Universitas di Yogyakarta.
Mahasiswa Yogyakarta sangat aktif menyuarakan reformasi bersama dengan
mahasiswa di Medan. Bentrokan
berlangsung hingga malam hari dan setelah bentrokan ternuyata ditemukan korban
meninggal yaitu Moses Gatotkaca.
- Kerusuhan Medan
Medan
merupakan kota besar pertama yang dilanda kerusuhan besar berkaitan dengan
reformasi. Mulai dari hari senin tanggal 4 Mei 1998 pecah kerusuhan hingga hari
kamis 7 Mei 1998. Pembakaran, perusakan dan penjarahan terhadap took-toko,
Bank, pasar, dan kendaraan terjadi selama beberapa hari. Kerusuhan menjalar
terus sampai keluar kota Medan seperti Lubuk Paka Kabupaten Derli Serdang dan
kota-kota kecil lainnya disekitar Medan. Kerusuhan masih terus berlanjut walau
dalam skala yang cukup kecil pada hari kamisnya juga. Dampak dari kerusuhan
ini adalah lumpuhnya perekonomian kota Medan dan sekitarnya. Penduduk Medan
keturunan Cina juga pergi eninggalkan klta karena merasa keamanan mereka tidak
terjamin., walau ada juga yang tinggal untuk melndungi harta benda mereka
supaya tidak dijarah. Selama beberapa hari masyarakat kesulitan mendapat bahan
makanan pokok. Setelah
peristiwa kerusushan Mei 1998 di Jakarta, dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta
(TGPF), yang juga mengeluarkan rekomendasi mengenai keterkaitan peristiwa kerusuhan di Medan ini dengan kerusuhan
diberbagai daerah lainnya selama bulan Mei 1998.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 di hari Kamis,
Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran sebagai Presiden RI di Istana Merdeka. Soeharto kemudian
mengumumkan sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, Wapres B. J. Habibie akan
melanjutkan sisa masa jabatan Presiden Mandataris MPR 1998 – 2003.[16]
C. Analisis dan Kesimpulan.
Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Orde
Baru selama tiga puluh dua tahun dengan diiringi oleh berbagai macam konflik,
peristiwa dan kejadian.
Negara Indonesia menuju tranformasi politik terbuka dan membuka lembaran Reformasi.
Menurut Emmerson, gaya Soeharto dalam menangani krisis
dilatarbelakangi oleh jati diri prbadi dan karir militernya yang melibatkan hierarki
di kalangan keluarga, masyarakat, dan kelurga. Dalam kondisi seperti itu, ia
tidak mau di kecam sebagai menyelinap pergi dari medan pertempuran meninggalkan
tanggung jawabnya terhadap negara di tengah-tengah kegawatan. Selain itu,
beberapa pendapat lain yang mencoba mengulas alasan-alasan di balik jatuhnya
kekuasaan Orde Baru yang sebelumnya telah mampu bertahan memerintah Indoensia
selama 32 tahun adalah:
1. Geoff
Forester.
Menyimpulkan bahwa kejatuhan
Soeharto disebabkan oleh lima faktor diantaranya: ambruknya ekonomi,menurunnya
kesehatan Soeharto,kekeliruan kebijakan yang amsih dibuat Soeharto,misalnya
mengangkat Tutut dan Bob Hasan sebagai menteri,demonstrasi massif oleh
mahasiswa dan perpecahan di kalangan elit sipil dan militer.
2. Michael
Vatikiotis
Menganalisis
peran ABRI dan mengatakan bahwa perpecahan yang mendalam di kalangan militer
merupakan penekan tumbangnya rezim Soeharto. Menurut wartawan FEER ini, tentara
tidaklah berminat merebut kekuasaan. Soeharto telah melakukan politik devide et
impera di kalangan militer sehingga Wiranto tidak bisa dengan sepenuhnya
mengendalikan situasi keamanan. Hal in diperburuk pula merosotnya citra ABRI
belakangan ini dalam kasus orang hilang, kerusuhan Mei serta perlanggaran HAM
antara di Tim-tim dan Aceh.[17]
- Selo Soemardjan
Ketika tanggal 21 Mei 1998 saya mengatakan bahwa
berhentinya Soeharto dari jabatannya dan digantikan oleh Wapres B.J Habibie
dengan menggunakan ketentuan pasal 8 UUD 1945 dan Tap MPR No. VII/1973 adalah
sah dan konstitusional, banyak sekali tanggapan pro dan kontra. Ada beberapa
pertanyaan mengenai keabsahan itu, antara ain: a) mengapa Soeharto tidak
mengajukan “permintaan berhenti” kepada MPR, b) mengapa dia tidak dimintakan
bertanggung jawaban? Bahkan ada yang mangatakan, kalau demikian enak betul jadi
presiden. Kalau “sudah kenyang merampok harta Negara” tiba-tiba menyatakan
berhenti, maka berhentinya itu “sah kata pak Yusril”. Presiden yang “sudah
kenyang” itu santai-santai saja tak perlu bertanggung jawab.[18]
Terhadap pertanyaaa-pertanyaan, saya sadar akan
adanya ketetpan MPR No. III/1978 PASAL 3 mengatakan MPR dapat memberhentikan
Presiden dengan beberpa sebab antara laian “atas permintaan sendiri”. Mengapa hal itu tak dilakukan? Ada dua
alas annya. Pertama, ada tuntutan luas dalam masyarakat pada waktu itu agar
Soeharto “mundur sekarang juga”. Jadi andai Soeharto waktu itu mengajukan
permintaan berhenti kepada MPR, maka desakan agar dia “mundur sekarang juga”
itu tak akan terpenuhi. Sebab dibutuhkan banyak waktu untuk menyelenggarakan
Sidang Istimewa MPR, disamping prosedurnya juga berbelit-belit. Jika cara ini
ditempuh, jangan samapai hari ini oeharto masih tetap menjadi Prsiden.
Kedua MPR sendiri selama ini dituding “penuh KKN”.
Saya tak yakin, seandainya Soeharto meminta berhenti kepada MPR maka lembaga
itu dengan serta merta akan mengabulkannya. Bagaimana mungkin mengharapkan MPR
yang dituding “nepotism” dan “membeo” itu akan dapat mengabulkan permintaan
Soeharto berhenti? Karena itu untuk mepercepat proses, tidak ada pilihan lain
kecuali menyarankan kepadanya agar ia membuat “pernyataan berhenti” secara
sepihak. Dengan cara itu, tidak diperlukan kata “setuju” atau “tidak setuju”
dari MPR, Soeharto dengan serta merta berhenti dari jabatannya. Dengan
demikian, tuntutan agar Soeharto “mundur sekarang juga ”otomatis terpenuhi”.
Jika presiden bersalah melanggar UUD maupun GBHN,
maka DPR yang berwenang untuk memberi peringatan kepada presiden. Jika
peringatan itu tidak diperdulikan, maka DPR memanggil Sidang Istimewa MPR untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden.[19]
Jika ini terjadi apakah sanksi hokum tata Negara yang dapat diberikan oleh MPR?
Hanya ada kemungkinannya: jika pertanggungjawanban Presiden dapat diterima,
maka ia terus dalam jabatannya. Sebaliknya jika ditolak, ia diberhentikan dari
jabatannya. Presiden tentang hal ini telah ada, yakni ditolaknya pidato
pertanggung jawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara. Sanksi yang
dijatuhkannya MPRS waktu itu adalah: Presiden Soekarno diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya disertai ucapan terima kasih.
Ketentuan UUD 45 maupun ketetpan-ketetapan MPR
mengenai pertanggungjawaban hanya ditujukan kpeda seorang presiden . secara de
facto, Soeharto bukan Presiden lagi.[20]
Secara de jure DPR juga menganggap demikian. MPR juga kemungkinan besar kan
berpendirian serupa. Andai Soeharto berhasil dihadapkan ke Sidang Istimewa MPR
yang dalam dugaan saya yang bersangkutan tidak akan bersedia, karena merasa
bukan Presiden lagi diminta pertanggungjawabannya dan diterima, apakah berarti Soeharto
harus dipulikan lagi hak-haknya sebagai Presiden? Kalau ditolak, maka Soeharto
sendiri sudah berhenti tanggal 21 Mei yang lau? Secara hokum, bagaimana caranya
memberhentikan orang yang sudah berhenti?
Tugas untuk
menyidik dugaan-dugaan diatas bukan menjadi kewenangan MPR sebagai lembaga
hokum tat Negara, tetapi menjdai kewenangan Jaksa Agung dan Kapolri. Penyidikan
tentang hal itu yang oleh MPRS diserahkan kepada kebijakan Pejabat Presiden
Soeharto tak pernah dialkukan. Dugaan-dugaan tetaplah tinggal sebagai dugaan.
Kita harus menghormati asas praduga tak bersalah.
Kesimpulannya saya ingin mengulangi lagi disini
bahwa statement saya tanggal 21 Mei yang lalu, yang mengaskan bahwa berhentinya
Soeharto “sah dan konstutional”, bukanlah berarti Soeharto tidak perlu
pertanggungjawab. Banyak orang yang salah paham dengan pernyataan itu, karena
mereka melepaskan konteksnya dari hokum tata Negara. Pertanggung jawaban
dibdang hokum pidana hanya mungkin dapat dilakukan jika Pemerintah Presiden B.J
Habibie mengambil tindakan. Caranya memerintahkan Kejaksaan Agung dan Kapolri
untuk melalukan penyidikan terhadap mantan Presiden Soeharto.
Jika terdapat bukti-bukti pendahuluan yang
mencukupi, maka Soeharto sebagai warga Negara biasa harus diajukan ke
Pengadilan. Lembaga inilah yang nanti akan memutuskan apakah yang bersangkutan
terbukti bersalah atau tidak. Mengngat langkah-langkah Pemerintahan Habibie
belum terlihat dalam menyidik mantan Presiden Soeharto, bahkan juga kaum
kerabatnya dan siapa saja yang diduga melakukan hal yang sama, maka saya setuju
dengan niat Fraksi Persatuan Pembangunan untuk mengajukan Rantap MPR yang
menugasi Presiden B.J Habibie untuk mengambil langkah-langkah hokum kepada
mantan Presiden Soeharto. Hal ini penting bagi penegakan hokum dan dapat pula
dianggap sebagai salah satu langkah politik untuk meredakan gejolak yang ada
didalam masyarakat.
Maka dapat
disimpulkan pada awalnya, Orde Baru memang tampak
mengadakan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung
jawab warisan rezim Orde Lama. Akan tetapi birokrasi Orde Baru yang berporos
pada eratnya hubungan militer dan teknokrat, sosialis dan Kristen, dalam rangka
melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintahan yang stabil dan kuat,
melebarkan fungsinya dengan menjadi mesin politik. Di samping sebagai alat
administrasi pemerintahan, birokrasi Orde Baru berkembang menjadi sebuah kekuatan
politik dan perpanjangan tangan pemerintahan dalam menjalankan roda kekuasaan
maupun melakukan rekayasa politik demi tercapainya strategi atau kebijakan
politik yang sudah ditetapkan.
Adapun
salah satu kebijakan politik penting Orde Baru ketika mulai memegang tampuk
kekuasaan adalah dipilihnya modernisasi sebagai titik tolak dan kerangka
landasan pembangunan bangsa. Pilihan terhadap modernisasi, agaknya dianggap
sebagai satu-satunya alternatif dalam memajukan bangsa Indonesia setelah pemerintahan
rezim sebelumnya (Orde Lama) dianggap gagal memenuhi tuntutan dan harapan
rakyat. Strategi pemerintah Orde Lama yang terlalu kuat berorientasi pada ideologi
dan politik, dinilai rezim Orde Baru sebagai telah membawakan ketidak stabilan
politik dan kehancuran ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu,
pemerintah Orde Baru merasa perlu melakukan stabilitasi politik dan keamanan
sebagai kebijakan penting yang dianggap bisa mendukung suksesnya pembangunan
ekonomi. Guna mengatasi hal tersebut Orde Baru mengambil kebijakan dalam bidang
ekonomi, dan dalam politik diupayakan menciptakan format politik yang mendukung
pembangunan ekonomi.
Daftar Kepustakaan
A.B. Lapian & Taufik Abdullah:
A. Dahana et. Al (ed. 2012. Indonesia
dalam Arus Sejarah, Jilid 8: Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve atas kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Achmad, Fachrudin. 2000. Jihat
Sang Demokrasi. Jakarta
: Raja Grafindo Persada.
Aritonang, Diro. 1999. Runtuhnya
Rezim Dari Pada Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan
dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Forum
Keadilan, “Sembako Dihantam Subsidi, Badai Belum Berlalu“ 23/3/1998
Habibie, Baharuddin Jusuf. 2006. Detik-Detik
Yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
Mangunwijaya, Y.B. 1998. Menuju
Indonesia Serba Baru: Hikmah Sekitar 21 Mei 1998. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Pamungkas,Sri Bintang.2001. Dari Orde Baru Ke Indonesia Baru Lewat
Reformasi Total. Jakarta : Erlangga.
Poeponegoro, Marwati Djoened dan
Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah
Nasional Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia Jakarta: Balai
Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Yogyakarta:
UGM Press.
Soemardjan,Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: PT
Penebar Swadaya.
Suharsi dan Ign Mahendra K. 2007. Bergerak
Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa Dan Perubahan Sosial Di Indonesia. Yogyakarta:Resist Book.
Syamsul
Maarif. 2011. Militer Dalam Parlemen
1960-2004. Jakarta: Prenada.
T.wadarya,baskara.2007. Menguak
Misteri Kekuasaan Soeharto.Yogyakarta:Gelangpress.
[1] Daniel Dhakidae, Cendekiawan
dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 734-737.
[3] Y.B. Mangunwijaya, Menuju
Indonesia Serba Baru: Hikmah Sekitar 21 Mei 1998, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998)
hlm. 112-123.
[4]Diro Aritonang, Runtuhnya
Rezim Dari Pada Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998,
(Bandung: Pustaka Hidayah,
1999), hlm. 21.
[5] Suharsi dan Ign Mahendra K., Bergerak
Bersama Rakyat, Sejarah Gerakan Mahasiswa Dan Perubahan Sosial Di Indonesia, (Yogyakarta. Resist Book,
2007), hlm. 102.
[6] Baharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik
Yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, (Jakarta. THC Mandiri,
2006), hlm. 3.
[9] Diro Aritonang, Runtuhnya
Rezim Dari Pada Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998,
(Bandung: Pustaka Hidayah,
1999), hlm 27.
[10]Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008,
(Yogyakarta: UGM Press, 2008), hlm 683
[11] Y. B. Mangunwijaya. 1998. Menuju Indonesia Serba Baru ; Hikmah Sekitar
21 Mei 1998. Gramedia : Jakarta, hlm 114
[12] Marwati Djoened Poeponegoro dan
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia
Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal 670
[13]A. Dahana et. Al (ed). Taufik
Abdullah & A. B. Lapian. Indonesia
dalam arus sejarah :Orde Baru dan Reformasi Jilid 8 (PT Ichtiar Baru van
Hoeve kerjasama dengan Kemendikbud, 2011) hlm 620
[14]T.wadarya,baskara.2007.Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto.Yogyakarta:Gelangpress.
hlm 55
[15] Fachrudinn Achmad, Jihat Sang Demokrasi, Jakarta : (Raja
Grafindo Persada. 2000), Hal : 29
[16] Marwati Djoened Poeponegoro dan
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal 672
[17] Diro Aritonang, Runtuhnya
Rezim Dari Pada Soeharto: Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998,
(Bandung: Pustaka Hidayah,
1999)hlm. 646-647.
[18] Selo Soemardjan. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: PT
Penebar Swadaya, hlm 202
[19] Syamsul Maarif. 2011. Militer Dalam Parlemen 1960-2004.
Jakarta: Prenada, hlm 25
[20] Selo Soemardjan. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: PT
Penebar Swadaya, hlm 206
Langganan:
Postingan (Atom)